Resensi Novel Kekang - Stefani Bella
Kekang-Stefani
bella
Identitas Buku
:
Penulis:
Stefani Bella
Ukuran:
13 x 19 cm
Tebal:
268 hlm
Penerbit:
GagasMedia
ISBN:
978-979-780-959-1
Blurb
Bebas
dari kekangan Ibu? Rasanya tidak akan penah bisa. Selamanya aku hidup atas
pilihannya yang terpaksa harus aku terima; jurusan kuliah yang kupilih,
aktivitas kampus yang aku ikuti, sampai laki-laki yang dekat denganku. Apa
semua orangtua seperti ini? Apa sulit bagi mereka memberi kebebasan kepada
anaknya? Hidup semakin buruk sejak Ayah pergi untuk selamanya.
“Pa,
kalau Papa masih ada, pasti Papa sekarang sudah di sebelah Layung. Papa pasti
kasih Layung kebebasan. Layung mau dipeluk, Pa. Layung kangen. Mau ikut Papa
aja.”
Kekang
adalah kisah Layung yang kehilangan Ayah untuk selamanya. Juga ia merasa
kehilangan kebebasan dalam hidupnya. Apakah kamu pernah merasakan hal yang sama
dengan Layung?"
Oh hai,
Asalamualaikum, wr.wb. Apa kabar teman-teman? Semoga kalian selalu sehat dan
yang sedang sakit segera diberi kesembuhan. Kali ini aku hendak bercerita
tentang novel yang aku baca yaitu berjudul Kekang karya kak Stefani Bella.
Maaf jika ada
kekurangan atau sesuatu yang tidak bisa diterima. Segala komentar seperti saran
dan kritkan sangat dibutuhkan penulis untuk review-review selanjutnya yang lebih
baik lagi. And, happy reading!!
Terkadang, apa
yang diinginkan anak memang bukanlah apa yang diharapkan orang tua. Tak selamanya
anak dan orang tua memiliki pemahaman yang sama, tak jarang pula selalu tidak
sepemahaman. Apa yang dikira orang tua baik buat anaknya terkadang bertentangan
dengan apa yang diinginkan seorang anak. Lantas bagaimana jika hal itu selalu
terjadi? Apa yang harus dilakukan? Haruskah seorang anak selalu menurut apa
yang diminta orang tua? Atau kita sebagai anak boleh memilih, apa yang
seharusnya kita pilih?
“Kalau orangtua lagi ngomong itu ngga usah ngelawan. Nggak usah ngejawab terus. Kalau Mama bilang salah, ya salah. Jadi dengerin omongan orangtua. Kamu pikir Mama senang waktu kamu ngejawab? Nggak.” – hlm. 12
Novel berjudul “Kekang” karya Stefani Bella ini bercerita tentang seorang gadis bernama Layung. Seorang gadis yang sudah tidak lagi memiliki ayah karena sudah meninggal dan hanya hidup dengan ibunya. Ibu yang dulu begitu hangat kini telah berubah menjadi orang yang paling tidak ingin ditemui Layung. Rumah yang biasa menjadi tempat pulang kini menjadi rumah yang paling dihindari oleh Layung. Kepergiaan ayahnya menorehkan luka yang begitu dalam karena tak ada lagi yang membela dan mencintainya dengan baik. Ibu yang satu-satunya menjadi orang yang
diharapkan sebagai tempat berbagi setelah kepergian Ayahnya nyatanya tak bisa menjadi sandarannya. Bahkan selalu menjadi alasan Layung untuk tidak pulang ke rumah.Layung memiliki
cita-cita yang sangat ditentang oleh Ibunya, ia juga memiliki trauma karena
hubungan percintaannya dengan seseorang. Layung merasa dunianya begitu
mengerikan karena tak ada lagi yang bisa mempercayai dirinya terutama Ibunya
sendiri.
Semenjak kepergian
ayahnya, Layung merasa dikekang oleh sang Ibu. Kemana pun Layung pergi, Di mana
pun ia berada, apa yang dilakukan, dengan siapa, dan bagaimana ibunya harus
tahu dengan detail. Jika Layung tidak bisa dihubungi, ibunya selalu meneror
teman-teman Layung untuk tahu kabar tentang Layung. Bahkan ibunya memiliki
mata-mata yaitu sang mantan pacar Layung yang amat dihindari Layung. Apa yang
dilakukan sang mantan membuat Layung tidak bisa lagi memaafkannya.
Novel ini jauh
dari cerita romantic antara sepasang kekasih. Cerita ini merupakan semua isi
hati dan isi pikiran Layung atas hidupnya. Bagaimana sikap hidupnya, bagaimana
UKM yang ia ikuti, bagaimana rasa takut dan rasa trauma yang ia alami yang
membuat ia tidak bisa tidur setiap malam.
Cerita ini
menarik karena menceritakan bagaimana hubungan seorang ibu dan anak. Bagaimana jika
ibu yang menjadi tempat satu-satunya berbagi menjadi orang yang paling dijauhi.
Novel ini juga mengajarkan bagaimana komunikasi yang baik agar tidak terjadi
kesalahpahaman antara anak dan ibu.
Novel yang
diceritakan dengan sudut pandang Layung ini membuat pembaca dapat merasakan
ketakutan dan amarah yang dirasakan Layung. Ada beberapa part yang
menampar diri.
“Hidup terus berjalan, Layung. Yang sudah nggak ada bukan berarti harus dilupakan, tapi kamu harus paham di mana sebaiknya meletakkan kenangan bersama mereka.” – hlm. 144
Kalimat di atas
seakan menampar pembaca bahwa harus mengikhlaskan yang sudah tiada dan yang
hidup harus tetap mempertahankan hidup. Bukan berarti melupakan yang sudah
tiada, tapi kita harus tau porsi dan posisinya di mana. Dalam cerita ini Layung
masih tebrayang-bayang oleh almarhum ayahnya, sehingga apa yang dilakukannya
saat ini sangat ditentang oleh ibunya tapi tetap ia lakukan karena ia merasa
dekat dengan ayahnya saat melakukan hal tersebut.
Konflik pengekangan
yang dilakukan orang tua Layung dalam cerita ini masih tidak terlalu berat. Bagi aku tidak esktrim orang tua mengekang anaknya, tapi yang membuat pengekangan sebenarnya adalah pikiran Layung sendiri, serta komunikasi keduanya yang membuat setiap permasalahan tidak pernah terselesaikan dengan baik. Pengekangan
yang dilakukan orangtuanya masih diambang batas wajar, hanya saja konflik yang
ditekankan di sini adalah pertentangan Mama Layung untuk mengikuti jejak
almarhum Papanya, sehingga Layung merasa apa yang dilakukannya dikekang olah
Mamanya.
Konflik Layung
dengan sang mantan pacar sebenarnya menjadi penguat alasan ketakutan atau
trauma Layung, tapi eksekusi penyelesaian konfliknya masih kurang greget, mungkin kalau aku jadi Layung kesel sih sama Mamanya sendiri hehe, sehingga
tidak memberikan efek yang puas dalam konflik mantan pacar tersebut.
Selain itu,
terdapat kesalahan penulisan yang seharusnya narasi itu menceritakan Kinar
sahabat Layung tapi malah menuliskan Widya-sepupu Layung. Over all novel
ini memberikan banyak sekali pesan untuk hubungan anak dan orang tua terutama
dalam cerita keluarga Om Dewa, saat Layung beberapa hari bersamamya. Meski narasi
Layung cukup panjang dan emosi sedikit terkukung karena pikiran Layung dan selalu mengena saat berdialog. Tapi pesan yang paling aku dapat dalam membaca novel ini adalah Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik di mata Tuhan. Apa yang kita kira buruk, belum tentu buruk di mata Tuhan.
Sejauh ini
novel ini rekomendasi untuk bacaan ringan dengan sarat pesan. Dalam waktu
kurang dari sehari aku menyelesaikannya meski saat menutup buku ini jauh dari
tidak puas tapi PUAS.
Bagaimana menurut
kalian? Tertarik membacanya?
Kalia bisa mendapatkan buku ini di toko buku instagram @nuribook.id atau di shopee : nuribook.id
Sampai jumpa
dengan review selanjutnya.
Jangan lupa
jaga kesehatan dan tetap semangat teman-teman.
Love,
Nurila Phasa
Jangan Lupa Follow
Instagram : @nurilaphasa @nuribook.id
Subscribe Youtube : Nurila Phasa
Tiktok : @nuribook.id
Twitter : @nuribook.id
No comments:
Post a Comment